Sesungguhnya Aku Percaya Akan Melihat Kebaikan Tuhan Di Negeri Orang Orang Yang Hidup
RSS

Hari Aku Bertemu Daniel

Kisah Daniel ini saya dapat dr email (Thanks ya sylvi atas kiriman emailnya.. ) dan sangat mengispirasi saya tentang panggilan Tuhan dalam hidup kita


Hari itu dingin, tak biasa untuk bulan Mei. Musim semi sudah tiba dan segala sesuatunya hidup beraneka warna. Tapi, arus dingin dari utara membawa dinginnya musim salju kembali ke Indiana. Aku duduk bersama dua orang teman di jendela bergambar dalam rumah makan yang ganjil di pojok taman kota. Makanan dan temanku terasa istimewa hari itu. saat kami sedang mengobrol,perhatianku tertarik keluar, ke seberang jalan. Di situ tampak seorang lelaki yang kelihatannya menggendong seluruh barang miliknya dipunggung. Ia membawa tanda kusam yang bertuliskan, "Saya mau bekerja untuk dapat makan." Hatiku trenyuh. Aku mengalihkan perhatian kedua temanku padanya dan melihat bahwa orang di sekitar kami berhenti makan untuk melihat ke arahnya. Banyak kepala bergerak dalam campuran sedih dan tak percaya.

Kami meneruskan makan, tapi bayangannya tak menghilang dari pikiranku. Kami menyelesaikan makan siang dan kemudian berpisah. Ada hal yang harus kukerjakan dan aku pun bergegas hendak menyelesaikannya. Aku menoleh ke arah taman kota, mencari pengunjung aneh itu dengan setengah hati. Aku merasa takut, tahu bahwa kalau aku melihatnya lagi, aku merasa harus menanggapinya. Aku menyusuri kota dan tak melihatnya. Aku berbelanja dan kembali ke mobil. Dari lubuk hatiku, Roh Tuhan terus berbicara padaku: "Jangan kembali ke kantor sampai setidaknya mengelilingi taman sekali lagi."

Begitulah, dengan sedikit ragu, aku menuju kembali ke kota. Saat aku mengitari tikungan taman ketiga, aku melihatnya. Ia sedang berdiri di tangga depan gereja, memeriksa isi tasnya. Aku berhenti dan memandang, merasa terpanggil untuk berbicara padanya, tapi juga ingin terus melanjutkan perjalanan. Tempat parkir kosong di pojok mungkin sebuah tanda dari Tuhan :undangan untuk parkir. Aku memarkirkan mobil, turun, dan menghampiri pengunjung kota terbaru itu.

"Mencari pastor, Pak?" tanyaku.
"Tidak juga," sahutnya. "cuma istirahat."
"Bapak sudah makan hari ini?"
"Oh saya makan sedikit tadi pagi."
"Bapak mau makan siang dengan saya?"
"Apakah Bapak punya pekerjaan untuk saya?"
"Tak ada," sahutku. "Aku datang dari kota di sini untuk bekerja, tapi saya ingin mengajak Bapak makan siang."
"Baiklah," sahutnya sambil tersenyum. selagi ia mulai mengumpulkan barang-barangnya, aku bertanya basa-basi."Bapak hendak ke mana?"
"St. Louis."
"Asalnya dari mana?"
"Oh, dari mana-mana; kebanyakan dari Florida."
"Sudah berapa lama Bapak berjalan?"
"Empat belas tahun," begitu jawabnya.

Aku tahu aku telah berkenalan dengan orang yang tidak biasa. Kami duduk berseberangan dalam rumah makan yang sama dengan yang kutinggalkan beberapa menit sebelumnya. Rambutnya panjang lurus, dan janggut gelapnya dicukur rapi. Kulitnya terbakar matahari, dan wajahnya sedikit lebih tua dari usianya yang 38 tahun. Matanya berwarna gelap, tapi jernih, dan cara bicaranya fasih dan jelas dan mencengangkan. Ia membuka jaketnya dan terlihat kaos merah terang bertuliskan, "Yesus adalah Cerita Tanpa Akhir."

Lalu, cerita Daniel mulai terungkap. Ia mengalami hidup yang kasar. Ia membuat beberapa pilihan salah dan menuai akibatnya. Empat belas tahun yang lalu, selagi berkelana melintasi negeri, ia berhenti di pantai di Daytona. Ia mencoba bekerja bersama beberapa orang yang sedang mendirikan tenda besar dan beberapa peralatan. Konser, pikirnya. Ia boleh bekerja, tapi tendanya bukan untuk konser, melainkan misa kebaktian, dan dalam kebaktian itu ia melihat kehidupan dengan lebih jelas. Ia menyerahkan hidupnya pada Tuhan."Tak ada yang sama sejak itu," katanya.

"Saya merasa Tuhan menyuruhku terus berjalan, jadi saya teruskan sampai 14 tahun sekarang." "Pernah merasa ingin berhenti?" tanyaku."Kadang-kadang, kalau pas sangat sulit. Tapi, Tuhan telah memberikan panggilan ini. Saya membagi-bagikan Alkitab. Itu isi tas saya. Saya bekerja untuk membeli makanan dan Alkitab dan saya berikan Alkitab itu saat Roh-Nya menuntun saya."
Aku duduk tercengang. Temanku yang tunawisma ini ternyata bukan tak punya rumah. Ia sedang menjalani misi dan hidup seperti ini sebagai pilihan. Pertanyaan berkobar di dalam kalbuku selama beberapa saat, lantas aku bertanya :
"Seperti apa rasanya?"
"Apa?"
"Berjalan-jalan di kota membawa semua milik Bapak di punggung dan menunjukkan tanda itu?"
"Oh, awalnya terasa memalukan. Orang pasti menatap dan berkomentar. Pernah ada orang melemparkan roti yang sudah setengah habis dan memberi isyarat yang menyatakan bahwa saya sama sekali tidak diinginkan di sekitar situ. Tapi, kemudian saya merasa rendah hati ketika saya sadar bahwa Tuhan menggunakan saya untuk menyentuh kehidupan dan mengubah cara pikir orang tentang orang-orang seperti saya."

Cara pikirku juga berubah. Kami menyelesaikan makanan penutup dan mengumpulkan barang-barangnya. Di luar pintu ia berhenti. Ia berbalik menghadapku dan berkata, "Marilah, hai orang yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan."

Aku merasa seakan kami berdiri di tanah suci. "Bapak mau tambahan Alkitab?" tanyaku.
Ia bilang ia ingin punya buku terjemahan tertentu. Mudah dibawa dan tak terlalu berat. Buku itu adalah buku kesukaannya.
"Saya sudah membaca Alkitab 14 kali," katanya.
"Saya tidak tahu apakah kami punya buku terjemahan itu, tapi kita bisa mampir di gereja kami dan melihat-lihat." Aku berhasil menemukan sebuah Alkitab yang cocok untuk teman baruku, dan ia kelihatan sangat berterima-kasih."
Dari sini Bapak mau ke mana?" tanyaku."
Saya menemukan sebuah peta kecil di belakang kupon taman hiburan ini."
"Bapak ingin bekerja di situ untuk sementara?"
"Tidak, cuma saya ingin ke sana saja. Saya rasa ada orang di bawah bintang di sana yang membutuhkan Alkitab, jadi saya akan ke situ." Ia tersenyum, dan kehangatan jiwanya memancarkan ketulusan misinya.

Aku mengantarkannya kembali ke taman kota tempat kami bertemu dua jam sebelumnya, dan selagi kami di mobil, hari mulai hujan. Kami parkir dan menurunkan barang-barangnya.

"Bapak mau mengisi buku tanda tangan saya?" tanyanya. "Saya suka mengumpulkan pesan dari orang yang saya temui." Aku menulis dalam buku kecilnya bahwa pengabdiannya pada panggilannya telah menyentuh hidupku. Aku mendorongnya untuk tetap tabah. Dan aku meninggalkannya sebait ayat, Yeremia 29:11. "Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan."
"Terima Kasih," katanya. "Saya tahu kita baru berkenalan dan sebenarnya masih belum kenal betul, tapi saya mengasihimu."
"Saya tahu," kataku. "Saya juga mengasihimu."
"Tuhan itu baik"
"Ya, benar. Kapan terakhir kali Bapak dipeluk?" tanyaku."
Wah, sudah lama sekali," sahutnya.

Jadi di tikungan jalanan yang sibuk dalam hujan gerimis, aku dan teman baruku berpelukan, dan aku merasakan di dalam diriku aku sudah berubah. Ia memanggul tasnya, menyunggingkan senyum kemenangan dan berkata,
"Sampai ketemu di Yerusalem Baru."
"Aku pasti ke sana!" begitu jawabku.

Ia memulai kembali perjalanannya. Ia pergi dengan tandanya bergantung pada gulungan kasur dan tumpukan Alkitabnya. Ia berhenti, berbalik dan berkata, "Kalau Bapak melihat sesuatu yang mengingatkan Bapak pada saya, Bapak mau mendoakan saya?"
"Pasti," aku berseru kembali."
Tuhan memberkatimu!"
"Tuhan memberkatimu!"

Dan itulah saat terakhir aku melihatnya. Akhir sore itu saat aku meninggalkan kantor, angin bertiup kencang. Angin dingin berhembus keras di dalam kota. Aku mengenakan pakaian tebal dan bergegas ke mobil. Saat aku duduk dan meraih rem tangan, aku melihatnya sepasang sarung tangan kerja warna coklat yang usang ditaruh dengan rapi pada gagang rem. Aku memungutnya dan memikirkan temanku dan bertanya-tanya apakah tangannya akan tetap hangat tanpa sarung tangan itu. Aku teringat kata-katanya: "Kalau Bapak melihat sesuatu yang mengingatkan Bapak pada saya, Bapak mau mendoakan saya?"

Hari ini sarung tangannya ada di atas mejaku di kantor. Mereka menolongku melihat dunia dan manusianya dengan cara baru, dan mereka menolongku mengingat dua jam bersama temanku yang unik dan mendoakan misinya.
"Sampai ketemu di Yerusalem Baru," katanya.
Ya, Daniel, kita pasti bertemu.

Tuhan memanggil setiap orang dengan misi berbeda. Kita hidup terbentuk oleh kebudayaan, dan terutama kebiasaan, sehingga hal-hal yang di mata kita kurang lazim, dengan segera kita menghakiminya tanpa bertanya atau takut akan Tuhan yang menciptakan dan memanggil orang dengan cara berlainan dari kita, latar belakang kita dan kenormalan kita.

Bersyukur ada sekelumit kisah Daniel yang kiranya dapat mengubah cara pikir kita, sehingga saya nggak usah repot-repot “membela diri” dengan penampilan saya, penolakan undangan-undangan yang diajukan kepada saya, cara kami melayani, visi yang sedang kami jalani. Dengan mengatakan hal ini, tidak berarti kami mau menutupi (jika ada) kesalahan dengan mengatasnamakan “panggilan yang berbeda” – bukan, tetapi hanya ingin memberi fakta adanya perbedaan-perbedaan di dunia ini.

Tidak semua hamba Tuhan harus berdiri di mimbar, tetapi hamba Tuhan setia seperti Daniel, panggungnya/mimbarnya adalah dunia terbuka, di taman-taman, di dekat daerah sampah, di jalanan, di kota-kota dari jalan ke jalan disertai terik matahari yang menyengat, salju yang dingin membeku, atau hujan deras yang dapat membuatnya menggigil atau demam. Di sanalah Tuhan menyuruhnya berkhotbah dengan memberikan Alkitab – hanya ke tempat dan kepada orang yang Tuhan tuntun. Jadi tidak ada seorang pun yang meniru gaya Daniel hanya untuk sekedar meniru, tetapi masing-masing dipanggil sebagaimana Tuhan taruh dalam hatinya.

1 comments:

edgar tatemba said...

wah mantap... terus berkarya bro...
jangan lupa follow blog aku juga yah